zaterdag 3 februari 2007

Pondok Jaya yang selalu jaya!

Pondok Jaya. Itu adalah jawaban gue setiap kali ditanya dimana gue tinggal. Jawaban gue biasanya dapet celetukan balik yang kadang-kadang bunyinya 'dimana tuh?' atau 'oh, yang deket pabrik tahu, ya' atau juga 'di daerah Buncit khan?' biasanya dengan bangga gue sahut: 'pokoknya gue tetanggaan ama Rhoma Irama. Tapi jawaban yang paling sering gue denger: 'deket Pondok Karya, ya?' dan itu gak berhenti sampe situ aja ... masih ada terusannya ... 'sering banjir, khan di situ Rin?' .... 'itu khan daerah banjir?' .... tapi celetukan yang paling 'ekstrem' terdengar datengnya dari bekas dosen gue: 'di Pondok Jaya teh tumpah aja khan banjir' ... mendengar itu gue geli tapi juga kecut karena emang kenyataannya beberapa tahun yang lalu ibaratnya kalo kita tumpahin teh maka banjirlah tuh Pondok Jaya.

Tahun 1962, mom and dad beli rumah di PeeJay yang dulunya adalah sebuah kompleks KODAM. Tentu saja dulu namanya bukan Pondok Jaya. Waktu itu banyak temen dan sodara mom and dad males berkunjung ke PeeJay, karena selain letaknya jauh dari Kebayoran yang waktu itu udah cukup padat dihuni, PeeJay juga terletak di tengah rawa-rawa dan hutan. Makanya dulu PeeJay sempet disebut sebagai 'tempat jin buang anak'. Bayangan PeeJay dulu gak akan pernah hilang dari kepala gue. Sampai umur 7 tahun gue dibesarkan di PeeJay. Gue sempet TK dan sampe kelas 1 SD di PeeJay sebelum dad ditugaskan ke luar. Jalanan di depan rumah kita masih berbatu dan banyak lubang besar, jadi gue gak bisa belajar sepeda. Sebelum ada listrik kita pake diesel yang setiap sebelum magrib dinyalakan. Jadi sambil nonton tivi (yang hanya ada 1 channel aja) kita juga denger suara diesel yang mengraung.

Di akhir tahun 60-an yang tampak hanya beberapa gelintir rumah yang masing-masing masih dibatasi oleh tanah kosong. Kemudian, di tengah-tengah PeeJay ada rawa-rawa dan lapangan. Di situ selalu rame kalo bulan purnama dan juga kalo perayaan 17 agustusan. Tapi selain dari itu sepertinya berlaku jam malam, karena kalo udah matahari terbenam gak bakalan ada orang yang nongkrong atau tukang jualan yang lewat apalagi di masa-masa setelah gue lahir di tahun 1966. Tetapi karena gak begitu banyak orang, hubungan sama tetangga pun jadi akrab. Kita udah seperti keluarga. Kita misalnya bisa minta kecap atau garam ke tetangga sebelah atau bahkan tetangga di ujung jalan kalo persediaan di rumah habis. Gw inget masih inget waktu bokap dimintain tolong sama tetangga yang istrinya mau melahirkan. Bokap gue satu-satunya orang yang pada waktu itu punya mobil. Akhirnya mereka diantarlah ke rumah sakit. Dan sampai sekarang mereka masih saja membicarakan tentang kebaikan bokap gue.

Rumah kita di PeeJay sempat dihuni sama adik2 mom and dad waktu bokap mendapat tugas. Selama kita gak tinggal di situ, PeeJay mengalami banyak perubahan. Di atas rawa-rawa itu tadi dibangun gedung SMP, Puskesmas dan Balai Rakyat, tempat warga PeeJay mengadakan acara puncak tujuhbelasan. Di atas tanah kosong antara satu rumah dan rumah lainnya pun udah dibangun rumah-rumah baru. Awal tahun 90-an kompleks ini berubah menjadi perumahan umum, karena warga lama udah mulai pensiun, meninggal dunia atau pindah rumah dan berdatanganlah warga-warga baru seperti Rhoma Irama, Samuel Rizal, Cornelia Agatha juga pernah tinggal di PeeJay, dan baru-baru ini gue denger bahwa Aa Gym juga menjadi warga PeeJay bersama istri barunya. (Duh maap ya bapak2 dan ibu2 yang namanya disebutkan di sini ... saya gak bermaksud untuk buka rahasia loh).

Nah, justru karena kehadiran banyak orang baru kerukunan PeeJay itu terkadang terusik. Contohnya nih ... gue udah bertahun-tahun tinggal di PeeJay, even after my parents passed away and I got married, tetapi jarang sekali ada orang yang 'belagu' tinggal di PeeJay. Nah, kita dapet tetangga baru yang ngontrak persis di depan rumah kita. Seorang cewek yang belum nikah dan begitu bangganya dengan mobilnya. Pertama kali gue liat ada orang baru, ya gue kasih dong senyuman dan anggukan menandakan: "Hey I'm your neighbor!" Eh .... dia malah buang muka. Busyet deh!!!! Awas lu ya.



Untung saja kerukunan warga lama PeeJay masih bisa tetap dipertahankan walaupun masing-masing sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Hal itu sangat terasa kalo lagi ada perayaan 17-an, halal bi halal, tahun baru ..... daaaan ..... pada saat banjir. Banjir tahun 2007 itu betul-betul luar biasa karena air sungai meluap sampe car port kita. Itu berarti bahwa rumah-rumah dekat dengan sungai udah tenggelem. Nah, tetangga RT gue juga kebanjiran dan seperti beberapa tahun sebelumnya, rumah kita jadi semacam penampungan. JUGA BUAT CEWEK YANG TINGGAL DI DEPAN RUMAH GUE ITU!!!! Semua orang kita terima dengan baik, termasuk cewek itu. Lewat kakaknya (gue heran kenapa dia gak bisa minta sendiri) dia nitipin barang-barangnya (yang harus gue cemplungin ke air semua hehehehe). Gue pikir dia malu, jadi waktu malem hari warga PeeJay RT 007 berkumpul di tempat gue, gue ajaklah dia ngobrol yang hanya dibales dengan 'ya' en 'tidak' en dia ngelendooootttt terus ama pacarnya. Setelah banjir kita masih sering berpapasan tapi no way dia kagak mau negur zeg.


Gue berpikir ini: kalo dalam beberapa tahun ini orang-orang seperti cewek itu semakin banyak, maka gue rasa kata 'kerukunan' mungkin akan hilang dari kamus Bahasa Indonesia. Gue gak habis pikir aja kenapa orang-orang harus merasa dirinya lebih dari yang lain jika memang mendapat kesempatan menjadi lebih dari yang lain? Apalagi di lingkungan tempat tinggal, karena setelah mengalami banyak hal, gue sadar bahwa orang pertama yang kita minta bantuan adalah tetangga kita, bukan keluarga kita yang tinggalnya berjauhan dari kita. Tetapi gue yakin dengan hanya segelintir orang-orang seperti tidak akan memudarkan semangat dan kerukunan warga Pondok Jaya yang tetap Jaya!