donderdag 31 januari 2008

To dream the impossible dream

Sulit rasanya untuk memberikan judul catatan hari ini, karena banyak kata yang dapat menggambarkan sosok yang satu ini. Bunga tulip di tengah gurun … itu sebuah judul yang indah tapi gurun itu menggambarkan sesuatu yang gersang dan panas, sedangkan sosok ini justru mengademkan dan menghangatkan suasana. Sang ahli Arab jiwa dan raga … judul itu terlalu mengungkapkan siapa dia. Embun di pagi hari …. judul yang terlalu berbau percintaan dan mengingatkan aku pada lagu balad. Tiba-tiba terlintas di benak to dream the impossible dream …. memimpikan impian yang tidak mungkin …. Aku rasa itu lebih cocok untuk catatan tentang sosok ini.
Sebelum kedatangannya di sini banyak orang yang wanti-wanti: “ia adalah seorang ahli bahasa Arab dan seseorang yang sangat terpelajar dan pintar. Hati-hati sama orang itu, karena dia kaku dan selalu menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya.” Bagiku itu bukan menjadi suatu masalah, karena aku juga tidak akan banyak berurusan dengannya. Bukannya sama sekali tidak, tapi urusannya hanya menyangkut satu atau dua hal. Begitulah untuk beberapa saat rencana kehadirannya di tengah-tengah kita dibicarakan banyak orang. Apakah keadaan tidak akan seperti semula lagi? Apakah akan semakin memburuk atau malah sebaliknya justru membaik? Pendek kata banyak spekulasi yang beredar.
Pada hari kedatangannya banyak orang penasaran seperti apa rupanya. Dari kejauhan aku melihat sosoknya: tinggi, agak kurus, matang tapi tampak segar walaupun rambutnya sudah dipenuhi dengan uban. Gurat-gurat ketampanan ketika muda masih terlihat jelas di wajahnya.
Tibalah saat berkenalan. Bersama rekannya ia dibawa keliling untuk dikenalkan kepada orang-orang di sekitarnya, termasuk juga aku. Waktu ia masuk, aku merasa deg-degan dan sedikit gemetar. “Dia itu selalu mengambil jarak dengan orang di sekitarnya!” Begitulah yang terngiang di kepalaku sesaat. “Jadi, kenapa dia ingin berkenalan dengan kita?” aku membatin. Langkahnya tegap ketika ia masuk. Dia menyebutkan namanya dan menjabat tanganku. Jabatan tangannya terasa kencang dan meyakinkan seolah-olah justru ingin menyampaikan selamat datang kepadaku. Rekannya menceritakan apa yang aku kerjakan seolah-olah aku tidak boleh atau tidak bisa berkomunikasi dengannya. Pendahulu-pendahulunya tidak pernah menunjukkan interes dengan apa yang diceritakan kepadanya tentang kita, tetapi yang satu ini menyimak dengan baik. Bahkan ia sendiri melontarkan beberapa pertanyaan yang aku kira tidak bakalan ia ajukan.
Begitulah perkenalan dengannya dua tahun dan lima bulan yang lalu. Hari demi hari berganti. Justru karena ‘peringatan’ orang-orang itu, aku justru terkesan mengambil jarak, hingga pada suatu hari aku dipanggil untuk bertemu dengannya. Selama perjalanan ke ruangannya aku bertanya-tanya: “Aduh, apa salahku? Apa yang telah kuperbuat?” Aku dipersilahkan masuk dan otot-ototku menjadi begitu tegang. Aku bahkan tidak berani menatap matanya pada saat dia berbicara. “Selamat pagi”, begitu katanya dan tiba-tiba ketegangan di badanku mulai meregang. Ia menyapaku dalam bahasaku, Bahasa Indonesia. Kemudian ia mulai berbicara ... tetap dalam bahasaku. Aku negakkan kepalaku dan aku memandang sekeliling ruangannya. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada sebuah lukisan benda yang tergantung di dalam ruangannya itu. Sepertinya lukisan itu tidak asing bagiku, aku pernah melihat lukisan itu tetapi dimana? Rupanya ia memperhatikan gerak-gerikku dan berkata: “Itu adalah sebuah lukisan dari kerang dan Ibu (ya ... ia menyebutku dengan panggilan Ibu) tahu itu lukisan apa?” Aku hanya menggeleng karena aku sendiri juga ragu. “Itu adalah Asmaul Husna .... nama indah Allah”, dia menjelaskan. Hampir saja aku terjatuh dari kursiku. Baru kali ini aku mengenal orang Barat yang memberikan rasa hormat pada sebuah lukisan yang berbau agama Islam. Kemudian di dinding lainnya aku melihat lagi sebuah lukisan karpet yang merupakan ciri khas Timur Tengah. Kembali ia mengikuti pandanganku: “Itu adalah pemberian seorang menteri Iran dan itu adalah kisah rasul” Aku rasanya ingin berteriak dan berlari keluar ruangan itu.
Mulai hari itu ia sering banyak bertanya kepadaku tentang berbagai hal, terutama tentang bahasa dan sastra. Dari hari ke hari ada saja yang ia tanyakan dan dari hari ke hari rasa kagumku kepadanya semakin besar. Di saat orang-orang Barat lainnya mencela bangsaku, ia justru menyatakan kekagumannya pada negeri ini. Di saat orang-orang Barat lainnya mencari-cari kesalahan negeri ini, ia justru menyampaikan pernyataan yang membuat aku bangga sebagai warga negara Indonesia. Di saat orang-orang Barat lainnya menghujat almarhum Pak Harto, ia dengan kerendahan hatinya datang melayat atas nama negaranya ke Cendana dan juga Solo.

Dengan pendekatan sosialnya yang luar biasa dengan orang-orang yang bekerja sama dengannya, ia berhasil menumbuhkan rasa percaya orang-orang itu yang semula belum pernah ada karena mereka masih terkukung oleh masa lalu yang pahit. Ia juga berhasil menumbuhkan rasa percaya pada organisasi-organisasi yang jarang dipandang oleh orang-orang Barat lainnya. Ia lakukan itu karena ia faham dan mengerti apa yang mereka inginkan dan hanya satu yang mereka inginkan: berbicalah dengan bahasaku.

Ternyata dalam dirinya aku tidak menemukan sedikit pun kekakuan dan kesombongan. Aku juga tidak mempunyai kesan bahwa ia mengambil jarak. Aku rasa, ia hanya ingin berlaku sopan mengingat beban tugas yang sedang diembaninya sehingga ia tidak bisa bertingkah laku seperti kebanyakan orang. Ia adalah tauladan, ia adalah model, ia adalah contoh bagi rekan-rekan senegaranya di sini. Aku akan tetap berjalan di belakangnya dengan rasa kagum dan hormat terhadapnya yang telah mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk negaranya. Selamat bertugas, Bapak!